Sabtu, 07 Februari 2015

Akhirnya ngeblog lagi...Review: Aku dan Orang Sakuddei (buku)

Hei Apa kabar? Saya sih bertambah baik, hidup saya makin asik.

Saya rapel saja ya, untuk tahun kemarin...

Selamat Tahun Baru..
Selamat Ulang Tahun
Selamat Lebaran
Selamat Natal
Selamat atas kebahagiaan yang datang

Serius, ngeblog itu butuh mood yang sangat bagus, dan kadang ngeblog itu butuh masalah juga. Seperti masalah saya yang semenjak pindah rumah jadi tidak punya sinyal hp dan modem. Jadi begitu dapat sinyal, saya sempatkan buat ngeblog.

Sebenarnya bingung juga sih mau nulis tentang apa, hidup saya menarik tapi tidak untuk dibagi. Pengalaman yang asik banyak tapi bingung mau mulai dari mana. Jadi saya mau resensi buku yang terakhir saya baca. Saya dan mungkin jarang banget baca buku. Kayaknya lebih gampang googling saja sekalian buka sosmed. Cari resep, cari resensi film, mau baca surat kabar, cari model jilbab terbaru, sampai review BB cream tinggal klik. lebih mudah, bisa dimanapun. Inilah yang bikin saya jadi males baca. 

Sampai suatu hari saya terdampar di tengah kemacetan Jakarta, senewen di jalan, lalu masuk Gramedia. Biasanya saya kalau di Jogja beli buku selalu di Toko Buku Diskon, jadi dia harganya nggak semahal Gramedia. Kaceknya bisa sampai 20 rebu, lumayan kan?? 


Dan dapetlah buku ini, buku Antropologi yang di tulis oleh seorang Antropolog Belanda bernama Reimar Schefold. Bagus banget bukunya, sangat Antropologis. Buku ini adalah kisah Mr. Schefold yang datang ke Mentawai untuk meneliti. Seperti buku "laporan pertanggungjawaban"nya antropolog setelah melakukan penelitian, buku ini ditulis secara partisipatori, artinya, pelaku sendiri yang menceritakan pengalamannya lewat tulisannya. Bahasanya lentur, tidak kaku seperti Sang Maha Guru Antropologi Evan Pitchard yang meneliti Suku Nuer. 

Reimar berada di Mentawai selama 2 tahun (1967-1969), meneliti suku terdalam Mentawai yaitu suku Sakuddei. Tinggal di sana, di dalam hutan. Saya tidak bisa membayangkan betapa serunya. Masuk ke lingkungan baru yang primitif, penuh hal-hal magic, dan dengan komunikasi yang terbatas.
Seru kan? Kalau saya mungkin langsung nangis mintak pulang di malam pertama nginap di hutan. Nggak bakat emang jadi antropolog. 

Yang menarik di buku ini adalah bahasannya tentang Bajou. Bajou itu apa yaa, semacam sawan kalau di Jogja. Tapi Bajou ini lebih luas. Bajau menurut saya bisa diartikan sebagai Roh. Setiap benda yang ada di muka bumi ada Bajounya. Tumbuhan, sungai, rumah, bahkan lampu dan mercusuar. Reimar sendiri sempat terkena Bajou dari Uma (rumah), karena dia terlalu heran melihat uma-uma yang ada di Sakuddei. Bajou bisa mengakibatkan seseorang menjadi sakit bahkan meninggal. Seorang warga konon katanya meninggal karena terkena Bajou dari Mercusuar yang baru didirikan, lampunya terlalu terang sehingga oragn tersebut kaget. Pun kalau warga tidak mengindahkan sebuah peraturan, maka salah satu warganya bisa terkena Bajau. 

Yang lucu, saya jadi merasa diri saya terkena Bajou ketika si dia bawa mobil ke rumah. Badan saya mendadak panas, muntah-muntah dua hari. Bajou Mobil. Iya, saya memang gampang tebawa suasana. 

Di bagian akhir buku menceritakan bagaimana Reimar kembali lagi ke Mentawai setelah 40 tahun. Ketika segala sesuatu telah berubah, teknologi semakin maju, hutan semakin terkikis, tetapi keramahan warga masih tetatp sama. 

Serius, bagus banget bukunya. Semoga saya bisa beli buku setiap bulan. Membaca buku itu mengasikkan. Apalagi dilakukan pas habis mandi, rumah sudah rapi, dan mendung. Mall? No, Thanks...

                                                                               Bonus Foto :D

Terimakasih Sudah membaca... jangan lupa komentarnya yaa...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

I love comments