Senin, 29 April 2013

The Other Pantura


Bismillah...



Saya sempat tinggal agak lama di sebuah daerah kecil di daerah Pantura, katakanlah nama daerah itu  Gembili. Berdiam diri, tidak melakukan apapun yang penting, datang sebagai makhluk asing buat mereka para penduduk. Makhluk asing karena cara bepakaian saya tidak sama seperti mereka, saya tidak bekerja dengan ulet seperti mereka, bahasa yang saya gunakan juga aneh di telinga mereka, dan tentu saja cara saya memandang hidup berbeda dengan perempuan asli sana. Saya dianggap berpendidikan, kaya, pintar, banyak uang sehingga sudah tidak perlu bekerja. Terkadang sayapun dianggap bodoh oleh mereka karena saya tidak juga memahami apa yang mereka katakan berkali-kali karena kesulitan memahami bahasa. Bahasanya sebenarnya masih sama, bahasa Jawa, hanya saja bahasa Jawa mereka itu intonasinya agak ditinggikan di bagian akhir kata, vokal terakhirnya agak sedikit dipanjangkan. Kosakatanyapun banyak yang aneh di telinga saya.

Dan ya Tuhan, sulit sekali menemukan orang yang bisa berbahasa Jawa kromo hinggil di sana. Di Jogja sudah ‘diwajibkan’ apabila bicara dengan orang yang lebih tua menggunakan bahasa Jawa Kromo Hinggil, kalau tidak? Kamu akan dianggap sebagai pemuda nggak tau diri. Saya yang tidak begitu pandai menggunakan bahasa Jawa lebih memilih menggunakan Bahasa Indonesia sebagai komunikasi saya dengan para orang tua kalau dalam situasi tertentu diharuskan berbicara yang agak lama dan panjang, itupun biasanya saya kemudian dianggap sebagai orang Jawa yang tidak njawani. Orang Jogja mengamini filosofi yang di anut oleh seorang Filsuf china kuno (lupa namanya :P) , bahwa “yang membedakan kelompok dan status sosial seseorang adalah bahasanya.” Maka dari itu mempelajari bahasa sangat penting. Apa yang keluar dari mulutmu menandakan darimana dirimu berasal. Di Joga pula, siapapun yang menanyakan sesuatu pakai bahasa kromo hinggil pasti akan di balas pakai bahasa kromo hinggil juga. Saya terbiasa dengan budaya yang seperti itu. Sayangnya di Gembili ini tidak berlaku yang begituan, anak setingkat sekolah dasar tetap menggunakan bahasa Jawa Ngoko (bahasa standar pergaulan) ketika berbicara pada kakek-kakek. Semuanya begitu. Jangan harap kamu menemukan anak yang berbicara halus pada orang tuanya.

Saya tidak sedang membandingkan ‘mana yang baik-dan mana yang tidak baik’ antara dua kebudayaan yang jelas berbeda lho ya, dari letak geografisnya saja sudah berbeda, tentu saja budayapun berbeda pula. Saya dari daerah pegunungan, pusat inti kerajaan (pemerintahan) dengan segala keruwetan budaya dan kekayaan filosofinya, dan Gembili ini ada di pesisir. Pesisir yang sejak dulu terkenal dengan keuletan karakternya, pekerja keras. Pesisir tempat arus lalu lintas perdagangan di Nusantara, Islam masuk berawal dari daerah pesisir, termasuk tempat transitnya perompak lautan pada zaman dahulu.

Jadi wajar saja kalau saya sedikit mengalami shock culture.

Tapi begitulah Pantura, dengan segala dinamikanya. Saya katakan berkali-kali mereka adalah pekerja yang sangat ulet. Kecil-kecil sudah berani merantau, anak lulus Sekolah Menengah sudah ngurban ke Jakarta dan kota-kota industri lainnya. Tidak memandang gender, semua merantau. Bahkan ada kesan kalau seorang laki-laki muda masih ada di desa maka dia bukanlah pemuda yang berani. Sukses saya lihat masalah belakangan, yang penting berani dulu.  

Saya yang sudah dawasa begini saja belum berani merantau sendiri, dan belum pernah melamar pekerjaan. Bagaimana mereka bisa menganggap saya banyak duit?