Selasa, 13 Mei 2014

Mas Mesir Sudah Pulang

Hei,ini benar-benar catatan yang tak direncanakan dan tak dipikirkan.Dan aku baru saja memperbaiki blog setelah sekian lama. Mohon bantuannya kawan... 



Berita kedatang Mas Mesir menghebohkan penduduk kampung. Bagaimana tidak, kampung yang terkenal akan stok buruh ini tak ada seorangpun yang mengenyam pendidikan lebih dari SMU. Mas Masir yang mendapat beasiswa ke Mesir dari pesantrennya jadi sosok yang dinanti-nanti. Warga sudah membicarakan kedatangannya berminggu-minggu lalu. Namanya seharum bunga melati. Sudah tidak sabar gebrakan apa yang akan di lakukan Mas Mesir di Kampungnya sendiri. Pak RT yang mantan tukang ojek di Jakarta bersiap memerintahkan koloni Sholawatan milik kampungnya untuk tampil menyambut, tapi entah mengapa kok tidak jadi. Betapa membanggakannya Mas Mesir ini.

Tibalah hari yang ditunggu. Launching pahlawan pembawa perubahan. Mas Mesir mengimami sholat maghrib di Kampungnya sendiri, sekaligus nanti akan ceramah. Gadis-gadis berdandan secantik yang mereka bisa, Ibu-ibu akan membawa apalah untuk Mas Mesir agar sudi main ke rumahnya –sekaligus melihat anak gadisnya, bapak-bapak seperti biasa tetap kalem.

Dengan jubah putih dan sorban di ikat-ikat di kepalanya, Mas Mesir tampak seperti seorang Wali Jawa yang ada di gambar ruang kelas Madrasah, hanya saja ini versi yang muda. Wajahnya bersinar. Tasbih ukuran kecil berputar terus di tangan kirinya, tangan kanannya sibuk menyalami bapak-bapak kalangan ‘elit’ kampung –seperti pak guru ngaji, pak RT, pak RW, dan aparat desa lainnya. Orangtua Mas Mesir yang sudah dari dulu kaya bangga melihat warganya yang semakin kagum pada mereka. Bapak-bapak lain merasa malu untuk mendekat, merasa bukan levelnya. Ibu-ibu di jamaah belakan senyum-senyum sendiri, dan gadis-gadis di pojokan cekikikan bernada I-am-verry-much-available.

Tibalah Mas Mesir mengimami, suaranya merdu, tajwid dan makhorijul huruf semua sempurna, mengalun membuat malam dingin di Kampung menjadi semakin syahdu. Ditambah lagi Mas Mesir membaca surat ar-Rahman di rakaat pertama, dan surat al- Mulk di rakaat kedua. Surat-surat ini dalam al-qur’an lumayan panjang bacaannya untuk ukuran orang Kampung.

Seorang nenek renta dengan nekad keluar dari barisan jamaah perempuan, masih rakaat pertama. Selonjor di belakang mengelus lututnya. Para Gadis berkali-kali menekuk lututnya bergantian. Sebagian lagi tak tahan untuk menguap sesulit apapun mereka mengatupkan rahang. Hanya bapak-bapak dari kalangan ‘elit’ kampung yang sepertinya masih bertahan dengan bacaan surat yang sangat panjang itu.

“Assalamualaikum warahmatullah…”   

Lega, akhirnya selesai juga.

Belum selesai ternyata, Mas Mesir kultum –yang dilakukannya hingga isya- dengan bahasa asing.

“Wah, Mas Mesir ngaji.” Tutur seorang Ibu penjual pecel, dilematis antara takjub atau ingin protes karena tak paham.

“Hush, Itu bukan ngaji. Itu kultum. Ceramah” Ibu lain memberitahu.

Sebagian Ibu-Ibu bahkan sempat menengadahkan tangannya sebelum disenggol ibu yang lain. Dikiranya Mas Mesir sedang membaca doa.

Tapi semua berekspresi sama, melongo!! Hanya (lagi-lagi) kalangan ‘elit’ kampung yang mengangguk-angguk takdzim, seperti memahami seluruhnya isi pidato Mas Mesir. Ibu Mas Mesir yang melihat dari barisan depan jama’ah putri malah menangis, melihat sendiri ‘kepintaran’ sang anak.

Mereka pulang dengan wajah hampa. Tak ada lagi kasak-kusuk di pasar  atau di warung wadangan.
Mas Mesir terlalu pintar untuk di komentari, pikir mereka.

Saya yang dua hari kemudian –merasa terhormat- ditemui Mas Mesir akhirnya mendengarkan keluhannya.
Tentang warga kampungnya yang bodoh
Tentang warga kampungnya yang tak paham hukum Islam
Tentang warga kampung yang semakin terbelakang
Tentang tak ada solusi untuk warga kampungnya

Saya??? Sama seperti Ibu-ibu di masjid tadi, berusaha sekuat tenaga mengatupkan rahangku. Agar tak menguap di depan Mas Mesir yang ganteng itu.