Senin, 03 Juni 2013

Siklus sebuah Hubungan


Hai Guys...
Tak sengaja bertemu Mr. Pumpkin (pipinya cubby seperti Labu)di kopma UGM dan dilanjutkan ngobrol di food court. Mr. Pumpkin adalah my ex boy friend yang ke...2 eh tunggu, mungkin yang ke-3, tapi yang jelas bukan yang ke-5. Oh ya, waktu itu hubungan main-main kami selesai karena dia harus boyong, kuliahnya selesai.
Tapi dia benar-benar sosok yang mengagumkan. Pertama kalinya aku ditaksir cowok perlente ya dia itu.
I am in realtion ship “ kataku dari awal, meyakinkan kalau aku tak bisa menerimanya lagi -meskipun dia tak pernah meminta.
Mr. Pumpkin tertawa lebar, membuatku merasa aneh mengatakan hal itu
“ah of course, kaum kami tak mungkin membuat gadis sepertimu menganggur.”
Sialan, batinku.
so, tell me what you want, Mr. Pumpkin”
hmm, katakan siapakah wanita di depanku sekarang.. “ 
what? You knew me Mr. Pumpkin, c’mon...” Kataku keGRan.
“Aku lihat kamu berbeda sekarang. Kamu terlihat lebih matang”
Terlihat lebih matang itu sama dengan terlihat tua, kan ya?? 
well, I’m 27 years old. Jelas beda dibanding aku yang 20 tahun. Right?”
Ya, umurku dulu masih 20 tahun, dan waktu itu Mr. Pumpkin 25 tahun, sedang sibuk mengurusi skripsinya.
I have a daughter, she is lovelly” katanya tiba-tiba
“wow, I’m happy to hear that,” dan aku benar2 bahagia mendengarnya. Aku selalu menginginkan anak kecil . “Are you happy?”
Happy about what? My family?” tanyanya cuek, membetulkan letak kaca matanya (dulu dia tidak berkaca mata).
Aku mengangguk
“kamu telah menemukan cintamu, belahan jiwamu, menikah dan bahagia. Dan Oh my gosh, a daughter? How amazing, It’s You Mr. Pumpkin. Someone who always –sorry- playing with the girls next door?”
Mr. Pumpkin tertawa selebar-lebarnya, membuat kami dilihat beberapa orang di samping kami.
“begini Deph, cinta itu siklus”
wait wait... maksudmu sometimes you love her and sometimes you not?
Mr. Pumpkin mengangguk mantab, sangat mantab. Aku yang malah kebingungan
“masalahnya adalah, bisa nggak kamu jangan mengikuti siklus itu, dan tetep pada pilihanmu.”
“maksudnya? “ aku mulai tertarik
Mr. Pumpkin membetulkan kaca matanya lagi (hidungnya tak begitu bagus mengganjal kaca matanya)
“kamu menikah, kemudian tiba tiba saja mengalami kebosanan kronis- menuruti kemauan untuk  selingkuh -dan kamu menikmati perselingkuhanmu. And Then kamu memilih divorce-menikahi selingkuhanmu- terus apa? Apa setelah menikahi selingkuhan bisa dipastikan nggak selingkuh lagi? Suatu saat bosan akan datang lagi. Itulah yang dinamakan siklus. Paham sayang?
Hey, dia mulai merayuku
“presentasi yang lumayan magus Mr. Pump –kecuali panggilan ‘sayang’ itu, sungguh tak perlu.”
“senang bisa membuatmu tertarik. Bicara denganmu selalu membuatku makin penasaran denganmu. Hey, begitukah caramu memikat suamimu, Deph?”
Aku yang gantian tertawa lebar, mendadak merasa seperti anak kecil yang ketahuan mencuri permen. 
Tiba-tiba teringat peristiwa yang mempertemukan aku dengan si Mr. Pumpkin ini. Beberapa tahun yang lalu, Sudah lama sekali.
Kami saat itu sama-sama memakai baju warna biju dengan motif yang sama persis, mungkin cuma ukurannya yang berbeda, celananya pun biru juga. Duduk bersebelahan mengantri di depan ruang Pembimbing Akademikku. Aku mau minta tanda tangan KRS, dan dia membawa sebundel kertas folio, mau bimbingan skripsi. Saling diam karena memang tak kenal. Sampai tiba-tiba temanku datang.
“Deph, pacarmu?”
Dia melotot langsung memalingkan muka, mungkin menyumpah dalam hati karena waktu itu aku sedang kumel-kumelnya. Dan aku menabok temanku “Hush”. Kenal juga enggak.
Masih belum selesai, Temannya datang ramai-ramai dan menanyakan hal yang sama
“pacar baru nggak dikenal-kenalke” Mereka kompak mengolok si Pumpkin dengan sok tau-nya
Eh ini orang pada ngapain sih. 
Dan sodara-sodara, ternyata masih belum selesai juga.
Dia masuk duluan karena memang mengantrinya duluan dia, baiklah tak apa. Semoga tak lama, batinku saat itu.
Sedang tengah-tengah dia bimbingan tiba-tiba aku dipanggil masuk oleh pak dosen karena memang aku hanya meminta tanda tangan thok. Jadilah kami berdua duduk di depan pak dosen. Pak Dosen bergantian melihat kami.
“Kalau pacaran jangan lupa kuliahnya, nilainya jangan sampai turun. Syukur kalau nikah dosennya diundang.” Sahut beliau tiba-tiba
Olala....
Aku cuman senyum, jenis senyum getir. Ditanya sedikit sama pak Dosen tentang mata kuliah yang aku ambil, tanda tangan, dan langsung kabur.
“Deph” seseorang memanggilku, ternyata si cowok yang tiga kali dikira pacarku, Mr. Pumpkin itu.
Darimana dia akhirnya tau namaku? ternyata dia sempat melirik KRSku.
Begitulah awal perkenalan kami, standarlah setelah itu bisa ditebak, SMSan, ketemuan, jalan, dan “Mau Pacaran?”  katanya saat kami selesai nonton.
Aku tersenyum sendiri mengingatnya. Siapa yang menyangka kami bertemu lagi dengan kondisi dia sudah memiliki anak, dan aku dengan pernikahan setahunku. 
Jangan dikira aku tertarik lagi pada si Mr. Pumkin ini, tentu saja tidak. Dia sedang mengurus pendaftaran s3 nya, dan aku cuma sedang berkumpul dengan teman-temanku. Aku ini setia, btw.
Benar juga kata Mr. Pumpkin, kalau seseorang melakukan perselingkuhan dan kemudian lebih memilih selingkuhannya ketimbang pasangan aslinya, apa bisa dipastikan dia (atau pasangannya) akan berhenti selingkuh??? TIDAK.
Jadi intinya, aku menyetujui pendapat bahwa cinta itu siklus
Tak bisa dihindari kadang memang bisa merasa setengah mati bosan, capek, eneg, males, dan merasa tak ada obrolan lain dengan pasangan. Tapi ayolah, nikmati saja. Itu cuma siklus. Seperti perempuan yang memiliki siklus menstruasi. Berhenti-lagi-berhenti-lagi. Ikuti saja.
Nanti juga baik lagi, ingat-ingat saja kebaikan si dia. Dan SETIAlah pada pilihanmu
Jangan sampai terjebak pada satu siklus dan kemudian kita menyesalinya, merusak hubungan yang sudah baik.
Pernah Selingkuh?? YA, waktu masih remaja labil dulu dulu.
Pernah jadi selingkuhan?? Tentu saja pernah, tetep ya kasusnya saat remaja labil.
Pernah diselingkuhi?? Mmm mungkin...(semoga TIDAK)
Sekian...

Selasa, 28 Mei 2013

Time to Dhuha







Demi waktu matahari sepenggalan naik, dan demi malam apabila telah sunyi. Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pulam) benci kepadamu, dan sesungguhnya akhir itu lebih baik bagimu dari permulaan. Dan kelak tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas. Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan. Adapaun terhadap anak yatim maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang. Dan terhadap orang yang minta-minta maka janganlah kamu menghardiknya. Dan terhadap ni’mat Tuhanmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur). (Terj. QS. Ad- Dhuha)

Senin, 29 April 2013

The Other Pantura


Bismillah...



Saya sempat tinggal agak lama di sebuah daerah kecil di daerah Pantura, katakanlah nama daerah itu  Gembili. Berdiam diri, tidak melakukan apapun yang penting, datang sebagai makhluk asing buat mereka para penduduk. Makhluk asing karena cara bepakaian saya tidak sama seperti mereka, saya tidak bekerja dengan ulet seperti mereka, bahasa yang saya gunakan juga aneh di telinga mereka, dan tentu saja cara saya memandang hidup berbeda dengan perempuan asli sana. Saya dianggap berpendidikan, kaya, pintar, banyak uang sehingga sudah tidak perlu bekerja. Terkadang sayapun dianggap bodoh oleh mereka karena saya tidak juga memahami apa yang mereka katakan berkali-kali karena kesulitan memahami bahasa. Bahasanya sebenarnya masih sama, bahasa Jawa, hanya saja bahasa Jawa mereka itu intonasinya agak ditinggikan di bagian akhir kata, vokal terakhirnya agak sedikit dipanjangkan. Kosakatanyapun banyak yang aneh di telinga saya.

Dan ya Tuhan, sulit sekali menemukan orang yang bisa berbahasa Jawa kromo hinggil di sana. Di Jogja sudah ‘diwajibkan’ apabila bicara dengan orang yang lebih tua menggunakan bahasa Jawa Kromo Hinggil, kalau tidak? Kamu akan dianggap sebagai pemuda nggak tau diri. Saya yang tidak begitu pandai menggunakan bahasa Jawa lebih memilih menggunakan Bahasa Indonesia sebagai komunikasi saya dengan para orang tua kalau dalam situasi tertentu diharuskan berbicara yang agak lama dan panjang, itupun biasanya saya kemudian dianggap sebagai orang Jawa yang tidak njawani. Orang Jogja mengamini filosofi yang di anut oleh seorang Filsuf china kuno (lupa namanya :P) , bahwa “yang membedakan kelompok dan status sosial seseorang adalah bahasanya.” Maka dari itu mempelajari bahasa sangat penting. Apa yang keluar dari mulutmu menandakan darimana dirimu berasal. Di Joga pula, siapapun yang menanyakan sesuatu pakai bahasa kromo hinggil pasti akan di balas pakai bahasa kromo hinggil juga. Saya terbiasa dengan budaya yang seperti itu. Sayangnya di Gembili ini tidak berlaku yang begituan, anak setingkat sekolah dasar tetap menggunakan bahasa Jawa Ngoko (bahasa standar pergaulan) ketika berbicara pada kakek-kakek. Semuanya begitu. Jangan harap kamu menemukan anak yang berbicara halus pada orang tuanya.

Saya tidak sedang membandingkan ‘mana yang baik-dan mana yang tidak baik’ antara dua kebudayaan yang jelas berbeda lho ya, dari letak geografisnya saja sudah berbeda, tentu saja budayapun berbeda pula. Saya dari daerah pegunungan, pusat inti kerajaan (pemerintahan) dengan segala keruwetan budaya dan kekayaan filosofinya, dan Gembili ini ada di pesisir. Pesisir yang sejak dulu terkenal dengan keuletan karakternya, pekerja keras. Pesisir tempat arus lalu lintas perdagangan di Nusantara, Islam masuk berawal dari daerah pesisir, termasuk tempat transitnya perompak lautan pada zaman dahulu.

Jadi wajar saja kalau saya sedikit mengalami shock culture.

Tapi begitulah Pantura, dengan segala dinamikanya. Saya katakan berkali-kali mereka adalah pekerja yang sangat ulet. Kecil-kecil sudah berani merantau, anak lulus Sekolah Menengah sudah ngurban ke Jakarta dan kota-kota industri lainnya. Tidak memandang gender, semua merantau. Bahkan ada kesan kalau seorang laki-laki muda masih ada di desa maka dia bukanlah pemuda yang berani. Sukses saya lihat masalah belakangan, yang penting berani dulu.  

Saya yang sudah dawasa begini saja belum berani merantau sendiri, dan belum pernah melamar pekerjaan. Bagaimana mereka bisa menganggap saya banyak duit? 


Minggu, 10 Maret 2013

"SLAMET"


Bismillah...

Masih ingat ada berapa teman kita yang bernama “Slamet”?? Setidaknya ada empat orang slamet yang saya kenal, dua orang slamet teman saya SD, satu orang di  murid di sekolah, dan satu lagi saudara saya.  Tiga orang Slamet nama belakangnya sama semua “Slamet Riyadi”, Itu yang saya kenal dekat, masih ada empat orang slamet lagi yang saya tau wajah tapi tidak begitu dekat. Tentu saja nama Slamet lebih banyak digunakan oleh orang Jawa, meskipun ada seorang Slamet dari pulau Lombok yang saya kenal tak begitu dekat, dia mengaku kalau bapaknya menamainya Slamet karena ingin anaknya jadi seorang presiden, karena presiden selalu orang Jawa, dipilihlah nama Slamet sebagai nama anaknya, representasi dari cita-cita sang bapak agar anaknya kelak menjadi presiden, meskipun dia bukan dari Jawa.

Slamet berasal dari kata salam, bahasa arab yang artinya selamat. Selamat dari api neraka, selamat dari bujukan setan, selamat dari dunia yang kejam, dari lilitan hutang, dari bayangan pembimbing tesis (ini saya!), intinya selamat dari segala hal. Dalam doa sehari-hari saya selalu menyertakan “selamat dunia dan akherat”, doa yang simpel, namun benar-benar luas sekali maknanya.

Slamet itu bersyukur
Dari kata salam dari bahasa Arab inilah kata slamet muncul. Ketika kata salam sudah dibahasa jawakan artinya menjadi lebih luas lagi saya kira, karena kecenderungan suku jawa yang senang sekali memfilosofikan sesuatu. Memberikan arti yang sangat luas pada hal yang simpel.  Lidah orang jawa yang sulit menirukan logat orang Arab membuat kata Salam-salamah menjadi Slamet, syahadatain menjadi sekaten, Abdul Faqih menjadi Dul Pekik, Assalamualaikum menjadi lamlekum, dan yang sekarang sedang jadi tren ngaco astaghfirullahal ‘adzim menjadi lebih alay astajim.

Ini membuktikan bahwa sebenarnya suku Jawa memiliki posisi tawar tinggi hingga menyaring banyak hal yang masuk ke dalam ruang lingkupnya. Ketika agama dan budaya Hindu-Budha masuk, masyarakat jawa tidak mentah-mentah mengambil kebudayaan dan agama Hindu-Budha, begitu pula dengan Islam. Islam dengan membawa prinsip rahmata li alamin, tidak serta merta ditelan mentah-mentah orang Jawa, ada komunikasi intens antara diantara keduanya, dan komunikasi tersebut berjalan dengan sangat baik hingga saat ini.

Slamet adalah tujuan tertinggi manusia Jawa dalam mencapai hidup yang tentrem, ayem. dan selanjutnya golek slamet merupakan proses yang sangat rumit, penuh aturan, dan terkadang terlalu didramatisir. Bagaimana manusia Jawa mengenal rites of the passages, upacara sepanjang diri kita, atau lebih simpelnya upacara-upacara yang menyertai hidup kita. Dimulai dari upacara paling awal sejak bayi dalam kandungan, sampai upacara sesudah manusia meninggal, dari rogohan hingga ngijing. Inti dari masing-masing upacara rites of the passages adalah golek slamet, agar di babak kehidupan selanjutnya seseorang dapat menjalani dengan baik. Golek slamet hakekatnya adalah harapan agar hidup selalu dilingkupi perasaan ayem, tentrem, beruntung, dan jauh dari kesialan.

Semoga bermanfaat