Sabtu, 30 Juli 2011

Sadness


Ya Tuhan...
Saat berjuta janji tak ditepati
Saat kata maaf menjadi rutinitas basi
Saat kejujuran tak dianggap penting
Saat kesetiaan hanya bualan
Saat kepercayaan bersaing dengan kebohongan

Sudah cukup, berhenti saja
Aku m.e.n.y.e.r.a.h....












Selasa, 26 Juli 2011

Private Beach

Alhamdulillah


Sebelum tiba saatnya memenjarakan nafsu liarku datangnya bulan Ramadlan yang suci, aku memutuskan untuk bersenang-senang di Pantai. Mencuri-curi waktu untuk menghabiskan uang orang tua liburan. Lokasinya di sepanjang Pantai di Gunung Kidul, Jogja. Gunung Kidul ini terkenal dengan pantainya yang luar biasa. Pasir putih, lokasi yang bersih, sea food yang benar-benar fresh, karang yang eksotik, dan tentu saja bisa bermain air sepuasnya. Tips untuk yang mau ke pantai ini, datanglah di hari kerja, maka pantai akan jadi milikmu sepenuhnya. Sepi, tak ada orang (tapi please jangan nekat untuk membuka bajumu). Rasanya seperti Paris Hilton yang punya private beach..

Sialnya, aku lupa nama pantainya. Pokoknya diawali huruf  "ng".  

Kalau air laut sedang surut, landak seperti ini banyak sekali kelihatan di sela-sela karang.

what did I said!! It's privat beach!! Hanya ada supir dan penumpangnya model dan fotografer. Jangan berpikiran macam-macam

kakap putih, tongkol, cumi, tropical fruits, la dulce vita!!!

Makanannya benar-benar enak. Yang aku rekomendasikan adalah sup ikan kakap putih!! Oemji, heaven!!! Setengah kilo ikan kakap putih dibagi dua masakan, sup dan bakar. Semuanya enak. Mau tau harga? Semua ini habis Rp. 95 rebong. Buat kantong mahasiswa sepertiku mahal cyyynn, walau sebanding banget sama rasanya!!

Dan akhirnya, menanti maghrib di Bukit Bintang. Dinamain bukit bintang karena dari ketinggian entah berapa kilometer dari permukaan air laut, kita bisa lihat pemandangan jogja. Cuman liat sinar lampunya aja sih. Mirip bintang? Pikirkan sendiri

Jogja malam hari diliat dari atas.



Total biaya perjalanan: 200 reboong!!! *Menangis tersedu, memandangi dompet, mengelus dada, menenangkan diri sambil terus menggumam "tapi kan asiiiikkkkk, puas mandi, puas makan" *

Rabu, 20 Juli 2011

Antropolog?? Think Again!!!

Bismillah 

Kesan Pertama
Aku gagal di hari pertamaku menjadi observer. Itu sudah pasti. Seharusnya tak ada wawancara mendalam dalam kunjungan awal. Pekenalan sekedarnya saja cukup.  Yang kulakukan malah ngobrol panjang sekali dengan para anggota Kelompok Kesenian Pring Gading, mengobrol dengan ke ketua kelompoknya, ya para penarinya, termasuk para pawangnya (padahal aku sama sekali belum pernah melihat mereka pentas). Sayangnya, wawancara saja tak cukup untuk membuat tesis setebal bantal. “Pekerjaan utama antropolog adalah pengamatan langsung, Partisipasi observasi!!!” Begitu yang selalu diulang-ulang oleh dosen Pengantar Penelitian Lapangan-ku. Wawancara seharusnya dijadikan data tambahan. Bukan apa-apa, masalahnya anggota kelompok kesenian Pring Gading ini sangat asik diajak mengobrol. Dan aku tak berdaya disuguhi jajanan khas kampung yang enak sekali!!!
Kegagalan kedua adalah, oh Tuhan ini benar-benar fatal. Kedatanganku sangat mencolok perhatian para penonton ketika kolompok kesenian ini sedang pentas. Antropolog yang baik tak akan menunjukkan siapa dirinya, datang dengan sangat halus tanpa membuat gejolak di masyarakat itu sendiri. Mencolok dalam artian, perhatikan ini: well, I love fashion dan ternyata ini adalah kesalahan besar. Dengan rok panjang trendy, kaus dan cardigan, shawl (jilbab panjang) yang kukreasikan sedemikian rupa, dan sebagai pelengkap kefatalan karierku aku menggunakan high heel setinggi LIMA sentimeter (dan saat itu tanah sedang becek-beceknya habis hujan). Tadinya aku merasa outfitku ini sederhana saja, tapi ternyata aku malah jadi perhatian ditempat pementasan. Menyaingi para pementas sendiri. Aku benar-benar merasa salah kostum kali ini. Bodoh sekali. Sebaiknya mungkin ada mata kuliah khusus yang membahas outfit peneliti amatiran, akan sangat membantu.
Kegagalan ketiga ini adalah benar-benar di luar kehendakku. Aku datang baik-baik sebagai mahasiswa yang kurang ilmu, posisiku adalah bodoh dan tak tau apa-apa. Tapi sambutan masyarakat seperti menyambut tamu dari Departemen Kebudayaan atau malah dari Discovery Channel. Benar sekali, ketua kelompok mengadakan penyambutan khusus untukku dengan mengundang anggota yang lainnya plus ketua RT, ketua RW, bendahara kampung, seksi dokumentasi, tentu saja dengan ceramah panjang lebar dan resmi (dan lagi-lagi ada snack yang lumayan enak pula). Ayolah, aku bukan siapa-siapa, cuma mahasiswa yang belum lulus-lulus. Sungguh tak enak hati. Aku cuma cengar-cengir saja saat itu. Dilematis.
Hanya satu kalimat yang menyantol dikepalaku dan selalu kuulang-ulang dengan perasaan bersalah: maafkan mahasiswamu ini prof. Hardi. Ilmu yang proesor berikan tentang kode etik observer tak benar2 kujalankan dengan baik dan gagal total. Semoga tak dilanjutkan dengan kegagalan-kegagalan lainnya. amin.
Terlepas dari semua masalah yang kualami, kenyataan bahwa kedatanganku disambut dengan sangat baik merupakan pertanda bahwa tesisku akan segera slesai. Asiiiiikkkkk. Bersikap ramah terhadap mahasiswi nggak jelas sepertiku adalah salah satu cara mereka nguri-uri kabudayan

Minggu, 17 Juli 2011

Ya Tuhan... Putuskan semua urat narsis dalam diriku ini.

Camera digital hamba sudah jadul, minta ganti DSLR ya Tuhan, give me!!
dan Terutama, hamba sudah putus hubungan dengan si fotografer abal-abal itu

Sedih sekali.
Semoga hamba bisa segera insaf dari kegilaan berfoto.
Amin..

Rabu, 06 Juli 2011

Perempuan Bercadar dan Aku

Bismillah


Cerita ini aku alami sendiri....

Tau Jalan Timoho kan? Iya benar yang jalan samping UIN sunan kalijaga. Beberapa waktu yang lalu aku harus legalisir ijazah untuk keperluan pekerjaan. Sebelum dari sana aku mampir dulu di pameran buku yang kebetulan sedang berlangsung di sebelah Universitas tersebut. Bisa ditebak, jalanan menjadi sangat-sangat ramai. Entahlah, menurutku kendaraan yang lewat jalan tak ada yang mau mengalah, aku yang baru bisa naik motor tentu ngeri lewat jalan Timoho ini.

Apa yang ku takutkan ternyata terjadi juga, aku terserempet motor cowok (kalo tak salah mereknya “T”, ada stiker hugo’s nya, plat nomernya tak ku catat) yang diboncengi dua laki-laki. Tepat di depan gerbang pintu masuk UIN. Mereka menyerempet motorku dan yah...aku jatuh. Ada satpam di situ, banyak mahasiswa cantik-cantik dan cakep-cakep. Sayangnya, tak ada yang menolongku, motor sialan itu pun pergi begitu saja, yang lain hanya melihat dengan tatapan kasihan, tak ada yang bergerak mendekatiku (sungguh!!).

Tentu saja aku mengumpat dalam hati, sekarang orang sudah semakin tak peduli. Di mana Indonesia yang berprinsip gotong royong? Ramah-tamah? Peduli?  Menolong orang saja tak mau! Sakit hati, di tambah sakit terkena pembatas jalan. Perih. Lengkap sudah kesialanku.

Tiba-tiba...

Seorang cewek bercadar mendekatiku “mbak nya nggak pa-pa?”

Membantuku menaikkan motorku yang masih tergeletak.

Ingin rasanya memeluk cewek itu. Aku terharu, karena aku tau, dia dengan sepeda mini nya tadi sudah berjalan mendahuluiku. Jelas sekali dia berbalik lagi ke arah pintu gerbang karena melihatku tak ada yang menolong.

Tak sampai situ, perseneling ku ternyata bengkok kok! Ah, sial benar. Dengan susah payah, kami meluruskan. Apa daya, tenaga cewek tak membuat persenelingku lurus lagi.

“mbak, tunggu sini sebentar, saya panggilkan mas bengkel” kata gadis bercadar tadi. Mengayuh sepedanya kuat-kuat.

Aku dilahirkan dalam keluarga NU tradisional yang kebanyakan dari mereka tidak menyetujui ide menggunakan cadar. Bukan budaya Indonesialah, inilah, itulah, yang paling ekstrim, khawatir teroris....

Aku bukannya tidak menyukai cewek bercadar dan cowok bercelana congklang itu, aku hanya....tidak bisa memahami alasan mereka. Sejauh ini pun aku tak pernah punya teman berkostum rapat tersebut. Jujur saja, tadinya aku juga ikut-ikutan berpikiran buruk tentang mereka. Menurutku sosialisasi mereka payah, terlalu berpikiran ekstrim, dan sangat tidak ramah. Di tambah lagi terorisme yang sedang terjadi di Indonesia, yang rata-rata berkostum seperti mereka. Itu tadinya,,,

Gadis bercadar ini membuka hatiku, memberikanku pelajaran berharga yang harus kupegang erat-erat.

Ternyata, mereka yang kupandang sebelah mata memiliki kepedulian seluas samudra. Mereka yang kukira anti sosial ternyata malah jadi satu-satunya orang yang menolongku diantara banyaknya orang 'normal', mereka yang kupikir terlalu individual ternyata berinisiatif memanggilkan mas bengkel buatku (yang kemungkinan mas bengkel itu juga malas berhubungan dengan si cewek cadar tadi).

Dan pelajaran terpenting adalah: tak peduli bagaimana kostummu, tak peduli bagaimana orang memandangmu, tak peduli bagaimana lingkunganmu____menolong orang yang kesusahan dengan ikhlas tetap menjadi kewajiban bagi semua orang. Ya, semua. Tanpa kecuali.

Lima belas menit kemudian baru mas bengkel datang. Cewek bercadar itu tak kembali lagi menemuiku, aku tak tahu namanya, bahkan aku belum sempat berterima kasih kepadanya.

Tapi aku bersumpah dalam hati, aku tak akan berpikiran negatif lagi pada mereka, dan akan melanjutkan kebaikannya, menolong orang dengan ikhlas tanpa melihat kostum apa yang dipakai.

Sebagai bangsa Indonesia aku yakin mereka juga ingin diterima secara baik-baik, tanpa ada pikiran buruk. Kebanyakan orang selalu berpikiran buruk karena pengaruh media yang setiap saat menyiarkan aksi-aksi kriminalitas. Dan aku, mulai saat itu, selalu mengajak perempuan-perempuan bercadar di luar sana tersenyum saat kami berpapasan. Siapapun itu. Aku yakin dibalik cadar mereka yang rapat, mereka juga membalas senyumku.

Trimakasih banyak untuk perempuan bercadar yang dua hari lalu menolongku, pakaiannya hitam-hitam, sepedanya berwarna hijau.