Bismillah...
Saya sempat tinggal
agak lama di sebuah daerah kecil di daerah Pantura, katakanlah nama daerah itu Gembili. Berdiam diri, tidak melakukan apapun
yang penting, datang sebagai makhluk asing buat mereka para penduduk. Makhluk
asing karena cara bepakaian saya tidak sama seperti mereka, saya tidak bekerja
dengan ulet seperti mereka, bahasa yang saya gunakan juga aneh di telinga
mereka, dan tentu saja cara saya memandang hidup berbeda dengan perempuan asli
sana. Saya dianggap berpendidikan, kaya, pintar, banyak uang sehingga sudah
tidak perlu bekerja. Terkadang sayapun dianggap bodoh oleh mereka karena saya
tidak juga memahami apa yang mereka katakan berkali-kali karena kesulitan
memahami bahasa. Bahasanya sebenarnya masih sama, bahasa Jawa, hanya saja
bahasa Jawa mereka itu intonasinya agak ditinggikan di bagian akhir kata, vokal
terakhirnya agak sedikit dipanjangkan. Kosakatanyapun banyak yang aneh di
telinga saya.
Dan ya Tuhan,
sulit sekali menemukan orang yang bisa berbahasa Jawa kromo hinggil di sana. Di
Jogja sudah ‘diwajibkan’ apabila bicara dengan orang yang lebih tua menggunakan
bahasa Jawa Kromo Hinggil, kalau tidak? Kamu akan dianggap sebagai pemuda nggak
tau diri. Saya yang tidak begitu pandai menggunakan bahasa Jawa lebih memilih
menggunakan Bahasa Indonesia sebagai komunikasi saya dengan para orang tua
kalau dalam situasi tertentu diharuskan berbicara yang agak lama dan panjang,
itupun biasanya saya kemudian dianggap sebagai orang Jawa yang tidak njawani. Orang Jogja mengamini filosofi
yang di anut oleh seorang Filsuf china kuno (lupa namanya :P) , bahwa “yang
membedakan kelompok dan status sosial seseorang adalah bahasanya.” Maka dari
itu mempelajari bahasa sangat penting. Apa yang keluar dari mulutmu menandakan
darimana dirimu berasal. Di Joga pula, siapapun yang menanyakan sesuatu pakai
bahasa kromo hinggil pasti akan di balas pakai bahasa kromo hinggil juga. Saya
terbiasa dengan budaya yang seperti itu. Sayangnya di Gembili ini tidak berlaku
yang begituan, anak setingkat sekolah dasar tetap menggunakan bahasa Jawa Ngoko
(bahasa standar pergaulan) ketika berbicara pada kakek-kakek. Semuanya begitu.
Jangan harap kamu menemukan anak yang berbicara halus pada orang tuanya.
Saya tidak
sedang membandingkan ‘mana yang baik-dan mana yang tidak baik’ antara dua
kebudayaan yang jelas berbeda lho ya, dari letak geografisnya saja sudah
berbeda, tentu saja budayapun berbeda pula. Saya dari daerah pegunungan, pusat
inti kerajaan (pemerintahan) dengan segala keruwetan budaya dan kekayaan
filosofinya, dan Gembili ini ada di pesisir. Pesisir yang sejak dulu terkenal
dengan keuletan karakternya, pekerja keras. Pesisir tempat arus lalu lintas
perdagangan di Nusantara, Islam masuk berawal dari daerah pesisir, termasuk
tempat transitnya perompak lautan pada zaman dahulu.
Jadi wajar saja
kalau saya sedikit mengalami shock culture.
Tapi begitulah
Pantura, dengan segala dinamikanya. Saya katakan berkali-kali mereka adalah
pekerja yang sangat ulet. Kecil-kecil sudah berani merantau, anak lulus Sekolah
Menengah sudah ngurban ke Jakarta dan kota-kota industri lainnya. Tidak
memandang gender, semua merantau. Bahkan ada kesan kalau seorang laki-laki muda
masih ada di desa maka dia bukanlah pemuda yang berani. Sukses saya lihat
masalah belakangan, yang penting berani dulu.
Saya yang sudah
dawasa begini saja belum berani merantau sendiri, dan belum pernah melamar
pekerjaan. Bagaimana mereka bisa menganggap saya banyak duit?
Saya juga orang Pantura :)
BalasHapusPanturanya mana,,:D
HapusPantura Jawa Barat, Pamanukan - Subang
HapusPerkenalkan, saya bersuku Jawa yang lahir di Lampung. bahasa ibu jawa ngoko, sejak SMP sudah berani naik kapal sendiri ke Cilegon-Banten. Sejak lulus SMA pindah ke Cilegon. haha... Indonesia memang kaya!
BalasHapuskeren sekali kakaaa :D
Hapus