Sabtu, 01 Oktober 2011

Sebelum Cahaya (Part I)

Es Batu dan Kepala Batu


“Kamu jatuh cinta, Honey” kata sahabatku tersenyum misterius,

Rasanya seperti ada sebongkah es batu mengalir di dadaku, dingin.. Aku takut.

“Menurutmu ini baik atau buruk?” tanyaku  pelan. Wajahku kutundukkan, ada perasaan malu dan takut sekaligus

“Tentu saja ini baik, sangat baik malah.” Jawabnya tak sabar

“Aku takut.”  Kataku lagi,

“Oh ayolah, aku sudah bilang berkali-kali suatu saat ada akan ada laki-laki yang membuatmu mengkaji ulang konsep pernikahan konyolmu. Itu harus segera diakhiri, honey.

Sarah, selalu mengkritik konsep pernikahan versi idealku. Menurutku laki-laki TAK SEHARUSNYA menjadi seorang raja di rumahnya, menyuruh-nyuruh istri tanpa ampun. Bahwa mencuci, memasak, mengurus anak, mengepel rumah, bersosialisasi dengan tetangga, menghadapi kritik pedas  mertua (plus saudara ipar) adalah sepenuhnya tanggung jawab si perempuan dan laki-laki selalu tak bisa diajak berdiskusi (hallo laki-laki, ada apa dengan kalian??). 

Sebenarnya menurutku ini adalah cara laki-laki menutupi kelemahan mereka (sebagai pemimpin) dengan cara tidak fair. Membebankan semuanya pada istrinya. Lebih parah lagi, budaya melegalkan posisi superior laki-laki yang seperti ini. Bahwa “saru” rasanya kalau ada laki-laki menanak nasi, tak pantas rasanya kalau sang suami tercinta harus menyapu rumah. Tetangga akan membicarakannya sepanjang masa, dan mertua akan mengutuk istri si laki-laki karena menyuruh suaminya bekerja dalam rumah.

Sarah (yang mewakili seluruh perempuan di Jawa) lebih bodoh lagi, dia merasa tidak tega kalau suaminya harus (ya ampun) membuang sampah. Ayolah women.... itu hanya membuang sampah.

“Aku tau kamu sedang jatuh cinta, karena kamu sudah melupakan seluruh teori gombalmu tentang pernikahan ideal. Ternyata saat ini tiba juga ya.” Sahut Sarah lagi,

“Sar, apa ada yang salah dengan pernikahan versiku?” tanyaku bertanya, lebih pada pertanyaan untuk diriku sendiri

“Hello, young lady... Tak ada orang waras minta libur menjadi istri walau itu cuma sebulan sekali!! Kamu bahkan meminta libur dua hari setiap minggu.

“Honey, menjadi istri bukanlah sebuah pekerjaan. Menjadi Istri itu melaksanakan ibadah” jawab sahabatku ini cuek, mengelap keringatnya. Menatapku sekilas. Tatapannya seperti mengatakan –kamu memang kepala batu, honey-

Lihatlah Sarah, dia dulu adalah seorang lady dari sebuah keluarga kaya raya. Sebelum menikahi pacarnya, pekerjaannya sebagai editor majalah kampus  lumayan membuatnya sangat produktif. Dia bahkan diundang ke seminar-seminar tentang jurnalistik untuk perempuan. Cita-cita terbesarnya yaitu membuat buku. Itu dulu, sekarang?? Dia tak akan berdandan kecuali untuk menghadiri jamuan makan malam dengan kolega suaminya, bukan koleganya sendiri seperti dulu. 

Daster, pakaian batik katun khas kota kami, Jogja, menjadi pakaian wajibnya, tentu saja dengan ukuran super besar. Dan oh Tuhan, (ampunilah dia) dia tak malu menyusui anaknya dimanapun anaknya menangis. Ayolah bu, ini 2011, sudah bukan jamannya ibu-ibu menyusui sembarangan tempat. Aku prihatin melihatnya. Membuatku takut untuk menikah. Bukan penampilan ataupun prinsip Sarah tentang pernikahan yang membuatku ngeri, bahwa Sarah sudah kurang produktif dalam dunia karier, itu yang membuatku ketakutan. 

Sungguh, aku menghormati Ibu Rumah Tangga sedalam-dalamnya. Mereka berjasa bagi pendidikan generasi bibit unggul Indonesia. Hanya saja, aku masih tidak yakin aku bisa menjadi Ibu Rumah Tangga seutuhnya seperti sahabatku, dan ayolah, Ibu Rumah Tangga itu bukan jenis pekerjaan, ladies. Ibu Rumah Tangga tak mendapatkan gaji!!! Jadi jangan isi curiculum vitae "Ibu Rumah Tangga" pada kolom pekerjaan, meskipun kalian seorang Ibu Rumah Tangga, kecuali kalau kalian digaji tinggi oleh suami kalian, per-jam setiap hari!! Tidak tidak, aku bukannya mau merendahkan posisi Ibu Rumah Tangga agar mereka bekerja dengan tidak ikhlas, aku berharap ada semacam bentuk penghargaan saja, agar suami-suami yang kelewat manja tidak memperlakukan Istri Rumah Tangganya dengan sewenang-wenang. 

“Percayalah honey, menjadi istri bukan suatu hal yang buruk. Jangan takut” katanya bijak sambil mengganti popok anaknya yang rewel sekali itu.

Eeerrr... benarkah?? Aku sendiri ngeri mendengar rengekan bayi  Sarah yang minta ampun kerasnya.

(to be continue)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

I love comments