Selasa, 29 Maret 2016

WONG-WONGAN

Bismillah....

Saya menulis draft ini ketika saya sedang di Perpustakaan Nasional, daerah Salemba. Nggak usah kepo saya lagi ngerjain apa karena saya memang nggak sedang ngerjain apa-apa. Perpus is new starbuck yunno. Dari lantai 3 saya melihat ada seorang anak yang sedang berbicara sendiri, sebenarnya berbicara sama bonekanya, semacam Barbie. Saya jadi inget masa kecil saya dulu, saya juga seneng banget monolog, bicara sendiri.

Dari kecil saya nggak begitu suka boneka-bonekaan. Teddy bear or whatever. Nggak ngotot minta dibeliin juga. Setelah agak besar, kalau ada boneka malah saya hadepin belakang kalo tidur, takut tiba-tiba siboneka senyum sendiri (ini serius). Pernah punya Barbie asli pun bekasan mbak tante saya yang sudah selesai pubernya, tentu saja Barbie aslinya yang sudah jelek banget, rambutnya sudah dipotong pendek, terus di dekat bibirnya dibikin tai lalat palsu (dititik pakai bolpen. Jaman dulu tai lalat di dekat bibir ini simbol keseksian), terus bagian bibirnya udah dikasih coretan spidol merah sebagai pengganti lipstik. Barbie KW pernah punya juga kalo nggak salah sih dioleh-olehin, nggak begitu ngena juga di memori saya.

Yang saya suka malah mainan wong-wongan (di sebagian daerah namanya Bongkar Pasang alias BP). Yang kayak gambar orang terus ada bajunya, ada tasnya, dari kertas, tau kan? Saya punya koleksi banyak nih gambar wong-wongan gini. Sekitar jam 1 siang saatnya istirahat, teman-teman sudah disamping saya buat dengarin monolog saya sama si gambar kertas ini. Katakanlah sebagai pengantar tidur siang teman-teman SD saya (Saya SD nya diasramakan). Bikin rumah-rumahan pakai property seadanya. Kalau tokohnya masih kurang karena kehabisan gambar, gampang, tinggal motong sapu lidi terus dinamain Rudi atau Andy, nama yang populer jaman saya kecil. Kenapa si lidi potongan ini jadi cowok? Karena di gambar potong wajah cowoknya jelek dan bajunya nggak bagu-bagus.

Pict from: www.mbokjajan.com

Serius, saya ini dalang wong-wongan yang masyhur. Kalo saya sudah bikin lapak, kalah deh semuanya. Yang lagi makan langsung cepet-cepet ngrampungin, yang lagi ngapain gitu langsung beli tiket teriak “AKU SAMPINGMU”, terus yang lagi pada buka lapak wong-wongan lain langsung menggulung tikarnya demi mendengarkan monologku. Menyerahkan propertinya untuk membantu kemegahan rumah wong-wongan saya. Temen saya namanya Yanti, sekarang sudah jadi bu notaries, yang seringnya menata properti rumah sandiwara wong-wongan saya. Seharusnya dia mungkin jadi desain interior dan saya seharusnya jadi pemain sinetron #EH

Saya baru berhenti main wong-wongan setelah kelas satu MTS (setingkat SMP), bukan apa-apa, soalnya wong-wongan kesayangan saya yang biasanya saya kasih nama Marissa hilang nggak tau kemana. Marissa ini saya potong dari sampul buku pelajaran, ngawur ya. Cantik deh, pakai topi, tinggi, wajahnya bule imut, terus bajunya ala-ala Marrie Antoinette. Saya sih curiganya si Marissa diambil diam-diam sama Mbak Jum -pengasuh saya, yang risi melihat saya masih ngomong sendiri di usia puber. Lucu juga.

Di facebook saya malah pernah dibahas betapa teman-teman SD saya kangen wong-wongan saya. Malu-maluin bener deh.

Tapi saya nggak yang punya “teman imajinasi” yang hadir nemenin saya main tanpa diketahui orang lain. Nggakkkk, saya nggak kayak gitu. Ini sedikit tentang masa-masa 90-an saya. Kalo nggak percaya tanya temen-temen saya, bu Notaris yanti, bu nyai mima, temen saat masih ingusan uty. Time flies so fast ya guys….

Hei, saya sadar banget rumah saya ini berdebu, setahun nggak dikunjungi. Habis gimana lagi, susah banget sinyal di sini. Ngomong-ngomong, terimakasih sudah membaca. 






Sabtu, 07 Februari 2015

Akhirnya ngeblog lagi...Review: Aku dan Orang Sakuddei (buku)

Hei Apa kabar? Saya sih bertambah baik, hidup saya makin asik.

Saya rapel saja ya, untuk tahun kemarin...

Selamat Tahun Baru..
Selamat Ulang Tahun
Selamat Lebaran
Selamat Natal
Selamat atas kebahagiaan yang datang

Serius, ngeblog itu butuh mood yang sangat bagus, dan kadang ngeblog itu butuh masalah juga. Seperti masalah saya yang semenjak pindah rumah jadi tidak punya sinyal hp dan modem. Jadi begitu dapat sinyal, saya sempatkan buat ngeblog.

Sebenarnya bingung juga sih mau nulis tentang apa, hidup saya menarik tapi tidak untuk dibagi. Pengalaman yang asik banyak tapi bingung mau mulai dari mana. Jadi saya mau resensi buku yang terakhir saya baca. Saya dan mungkin jarang banget baca buku. Kayaknya lebih gampang googling saja sekalian buka sosmed. Cari resep, cari resensi film, mau baca surat kabar, cari model jilbab terbaru, sampai review BB cream tinggal klik. lebih mudah, bisa dimanapun. Inilah yang bikin saya jadi males baca. 

Sampai suatu hari saya terdampar di tengah kemacetan Jakarta, senewen di jalan, lalu masuk Gramedia. Biasanya saya kalau di Jogja beli buku selalu di Toko Buku Diskon, jadi dia harganya nggak semahal Gramedia. Kaceknya bisa sampai 20 rebu, lumayan kan?? 


Dan dapetlah buku ini, buku Antropologi yang di tulis oleh seorang Antropolog Belanda bernama Reimar Schefold. Bagus banget bukunya, sangat Antropologis. Buku ini adalah kisah Mr. Schefold yang datang ke Mentawai untuk meneliti. Seperti buku "laporan pertanggungjawaban"nya antropolog setelah melakukan penelitian, buku ini ditulis secara partisipatori, artinya, pelaku sendiri yang menceritakan pengalamannya lewat tulisannya. Bahasanya lentur, tidak kaku seperti Sang Maha Guru Antropologi Evan Pitchard yang meneliti Suku Nuer. 

Reimar berada di Mentawai selama 2 tahun (1967-1969), meneliti suku terdalam Mentawai yaitu suku Sakuddei. Tinggal di sana, di dalam hutan. Saya tidak bisa membayangkan betapa serunya. Masuk ke lingkungan baru yang primitif, penuh hal-hal magic, dan dengan komunikasi yang terbatas.
Seru kan? Kalau saya mungkin langsung nangis mintak pulang di malam pertama nginap di hutan. Nggak bakat emang jadi antropolog. 

Yang menarik di buku ini adalah bahasannya tentang Bajou. Bajou itu apa yaa, semacam sawan kalau di Jogja. Tapi Bajou ini lebih luas. Bajau menurut saya bisa diartikan sebagai Roh. Setiap benda yang ada di muka bumi ada Bajounya. Tumbuhan, sungai, rumah, bahkan lampu dan mercusuar. Reimar sendiri sempat terkena Bajou dari Uma (rumah), karena dia terlalu heran melihat uma-uma yang ada di Sakuddei. Bajou bisa mengakibatkan seseorang menjadi sakit bahkan meninggal. Seorang warga konon katanya meninggal karena terkena Bajou dari Mercusuar yang baru didirikan, lampunya terlalu terang sehingga oragn tersebut kaget. Pun kalau warga tidak mengindahkan sebuah peraturan, maka salah satu warganya bisa terkena Bajau. 

Yang lucu, saya jadi merasa diri saya terkena Bajou ketika si dia bawa mobil ke rumah. Badan saya mendadak panas, muntah-muntah dua hari. Bajou Mobil. Iya, saya memang gampang tebawa suasana. 

Di bagian akhir buku menceritakan bagaimana Reimar kembali lagi ke Mentawai setelah 40 tahun. Ketika segala sesuatu telah berubah, teknologi semakin maju, hutan semakin terkikis, tetapi keramahan warga masih tetatp sama. 

Serius, bagus banget bukunya. Semoga saya bisa beli buku setiap bulan. Membaca buku itu mengasikkan. Apalagi dilakukan pas habis mandi, rumah sudah rapi, dan mendung. Mall? No, Thanks...

                                                                               Bonus Foto :D

Terimakasih Sudah membaca... jangan lupa komentarnya yaa...

Selasa, 13 Mei 2014

Mas Mesir Sudah Pulang

Hei,ini benar-benar catatan yang tak direncanakan dan tak dipikirkan.Dan aku baru saja memperbaiki blog setelah sekian lama. Mohon bantuannya kawan... 



Berita kedatang Mas Mesir menghebohkan penduduk kampung. Bagaimana tidak, kampung yang terkenal akan stok buruh ini tak ada seorangpun yang mengenyam pendidikan lebih dari SMU. Mas Masir yang mendapat beasiswa ke Mesir dari pesantrennya jadi sosok yang dinanti-nanti. Warga sudah membicarakan kedatangannya berminggu-minggu lalu. Namanya seharum bunga melati. Sudah tidak sabar gebrakan apa yang akan di lakukan Mas Mesir di Kampungnya sendiri. Pak RT yang mantan tukang ojek di Jakarta bersiap memerintahkan koloni Sholawatan milik kampungnya untuk tampil menyambut, tapi entah mengapa kok tidak jadi. Betapa membanggakannya Mas Mesir ini.

Tibalah hari yang ditunggu. Launching pahlawan pembawa perubahan. Mas Mesir mengimami sholat maghrib di Kampungnya sendiri, sekaligus nanti akan ceramah. Gadis-gadis berdandan secantik yang mereka bisa, Ibu-ibu akan membawa apalah untuk Mas Mesir agar sudi main ke rumahnya –sekaligus melihat anak gadisnya, bapak-bapak seperti biasa tetap kalem.

Dengan jubah putih dan sorban di ikat-ikat di kepalanya, Mas Mesir tampak seperti seorang Wali Jawa yang ada di gambar ruang kelas Madrasah, hanya saja ini versi yang muda. Wajahnya bersinar. Tasbih ukuran kecil berputar terus di tangan kirinya, tangan kanannya sibuk menyalami bapak-bapak kalangan ‘elit’ kampung –seperti pak guru ngaji, pak RT, pak RW, dan aparat desa lainnya. Orangtua Mas Mesir yang sudah dari dulu kaya bangga melihat warganya yang semakin kagum pada mereka. Bapak-bapak lain merasa malu untuk mendekat, merasa bukan levelnya. Ibu-ibu di jamaah belakan senyum-senyum sendiri, dan gadis-gadis di pojokan cekikikan bernada I-am-verry-much-available.

Tibalah Mas Mesir mengimami, suaranya merdu, tajwid dan makhorijul huruf semua sempurna, mengalun membuat malam dingin di Kampung menjadi semakin syahdu. Ditambah lagi Mas Mesir membaca surat ar-Rahman di rakaat pertama, dan surat al- Mulk di rakaat kedua. Surat-surat ini dalam al-qur’an lumayan panjang bacaannya untuk ukuran orang Kampung.

Seorang nenek renta dengan nekad keluar dari barisan jamaah perempuan, masih rakaat pertama. Selonjor di belakang mengelus lututnya. Para Gadis berkali-kali menekuk lututnya bergantian. Sebagian lagi tak tahan untuk menguap sesulit apapun mereka mengatupkan rahang. Hanya bapak-bapak dari kalangan ‘elit’ kampung yang sepertinya masih bertahan dengan bacaan surat yang sangat panjang itu.

“Assalamualaikum warahmatullah…”   

Lega, akhirnya selesai juga.

Belum selesai ternyata, Mas Mesir kultum –yang dilakukannya hingga isya- dengan bahasa asing.

“Wah, Mas Mesir ngaji.” Tutur seorang Ibu penjual pecel, dilematis antara takjub atau ingin protes karena tak paham.

“Hush, Itu bukan ngaji. Itu kultum. Ceramah” Ibu lain memberitahu.

Sebagian Ibu-Ibu bahkan sempat menengadahkan tangannya sebelum disenggol ibu yang lain. Dikiranya Mas Mesir sedang membaca doa.

Tapi semua berekspresi sama, melongo!! Hanya (lagi-lagi) kalangan ‘elit’ kampung yang mengangguk-angguk takdzim, seperti memahami seluruhnya isi pidato Mas Mesir. Ibu Mas Mesir yang melihat dari barisan depan jama’ah putri malah menangis, melihat sendiri ‘kepintaran’ sang anak.

Mereka pulang dengan wajah hampa. Tak ada lagi kasak-kusuk di pasar  atau di warung wadangan.
Mas Mesir terlalu pintar untuk di komentari, pikir mereka.

Saya yang dua hari kemudian –merasa terhormat- ditemui Mas Mesir akhirnya mendengarkan keluhannya.
Tentang warga kampungnya yang bodoh
Tentang warga kampungnya yang tak paham hukum Islam
Tentang warga kampung yang semakin terbelakang
Tentang tak ada solusi untuk warga kampungnya

Saya??? Sama seperti Ibu-ibu di masjid tadi, berusaha sekuat tenaga mengatupkan rahangku. Agar tak menguap di depan Mas Mesir yang ganteng itu. 



Senin, 03 Juni 2013

Siklus sebuah Hubungan


Hai Guys...
Tak sengaja bertemu Mr. Pumpkin (pipinya cubby seperti Labu)di kopma UGM dan dilanjutkan ngobrol di food court. Mr. Pumpkin adalah my ex boy friend yang ke...2 eh tunggu, mungkin yang ke-3, tapi yang jelas bukan yang ke-5. Oh ya, waktu itu hubungan main-main kami selesai karena dia harus boyong, kuliahnya selesai.
Tapi dia benar-benar sosok yang mengagumkan. Pertama kalinya aku ditaksir cowok perlente ya dia itu.
I am in realtion ship “ kataku dari awal, meyakinkan kalau aku tak bisa menerimanya lagi -meskipun dia tak pernah meminta.
Mr. Pumpkin tertawa lebar, membuatku merasa aneh mengatakan hal itu
“ah of course, kaum kami tak mungkin membuat gadis sepertimu menganggur.”
Sialan, batinku.
so, tell me what you want, Mr. Pumpkin”
hmm, katakan siapakah wanita di depanku sekarang.. “ 
what? You knew me Mr. Pumpkin, c’mon...” Kataku keGRan.
“Aku lihat kamu berbeda sekarang. Kamu terlihat lebih matang”
Terlihat lebih matang itu sama dengan terlihat tua, kan ya?? 
well, I’m 27 years old. Jelas beda dibanding aku yang 20 tahun. Right?”
Ya, umurku dulu masih 20 tahun, dan waktu itu Mr. Pumpkin 25 tahun, sedang sibuk mengurusi skripsinya.
I have a daughter, she is lovelly” katanya tiba-tiba
“wow, I’m happy to hear that,” dan aku benar2 bahagia mendengarnya. Aku selalu menginginkan anak kecil . “Are you happy?”
Happy about what? My family?” tanyanya cuek, membetulkan letak kaca matanya (dulu dia tidak berkaca mata).
Aku mengangguk
“kamu telah menemukan cintamu, belahan jiwamu, menikah dan bahagia. Dan Oh my gosh, a daughter? How amazing, It’s You Mr. Pumpkin. Someone who always –sorry- playing with the girls next door?”
Mr. Pumpkin tertawa selebar-lebarnya, membuat kami dilihat beberapa orang di samping kami.
“begini Deph, cinta itu siklus”
wait wait... maksudmu sometimes you love her and sometimes you not?
Mr. Pumpkin mengangguk mantab, sangat mantab. Aku yang malah kebingungan
“masalahnya adalah, bisa nggak kamu jangan mengikuti siklus itu, dan tetep pada pilihanmu.”
“maksudnya? “ aku mulai tertarik
Mr. Pumpkin membetulkan kaca matanya lagi (hidungnya tak begitu bagus mengganjal kaca matanya)
“kamu menikah, kemudian tiba tiba saja mengalami kebosanan kronis- menuruti kemauan untuk  selingkuh -dan kamu menikmati perselingkuhanmu. And Then kamu memilih divorce-menikahi selingkuhanmu- terus apa? Apa setelah menikahi selingkuhan bisa dipastikan nggak selingkuh lagi? Suatu saat bosan akan datang lagi. Itulah yang dinamakan siklus. Paham sayang?
Hey, dia mulai merayuku
“presentasi yang lumayan magus Mr. Pump –kecuali panggilan ‘sayang’ itu, sungguh tak perlu.”
“senang bisa membuatmu tertarik. Bicara denganmu selalu membuatku makin penasaran denganmu. Hey, begitukah caramu memikat suamimu, Deph?”
Aku yang gantian tertawa lebar, mendadak merasa seperti anak kecil yang ketahuan mencuri permen. 
Tiba-tiba teringat peristiwa yang mempertemukan aku dengan si Mr. Pumpkin ini. Beberapa tahun yang lalu, Sudah lama sekali.
Kami saat itu sama-sama memakai baju warna biju dengan motif yang sama persis, mungkin cuma ukurannya yang berbeda, celananya pun biru juga. Duduk bersebelahan mengantri di depan ruang Pembimbing Akademikku. Aku mau minta tanda tangan KRS, dan dia membawa sebundel kertas folio, mau bimbingan skripsi. Saling diam karena memang tak kenal. Sampai tiba-tiba temanku datang.
“Deph, pacarmu?”
Dia melotot langsung memalingkan muka, mungkin menyumpah dalam hati karena waktu itu aku sedang kumel-kumelnya. Dan aku menabok temanku “Hush”. Kenal juga enggak.
Masih belum selesai, Temannya datang ramai-ramai dan menanyakan hal yang sama
“pacar baru nggak dikenal-kenalke” Mereka kompak mengolok si Pumpkin dengan sok tau-nya
Eh ini orang pada ngapain sih. 
Dan sodara-sodara, ternyata masih belum selesai juga.
Dia masuk duluan karena memang mengantrinya duluan dia, baiklah tak apa. Semoga tak lama, batinku saat itu.
Sedang tengah-tengah dia bimbingan tiba-tiba aku dipanggil masuk oleh pak dosen karena memang aku hanya meminta tanda tangan thok. Jadilah kami berdua duduk di depan pak dosen. Pak Dosen bergantian melihat kami.
“Kalau pacaran jangan lupa kuliahnya, nilainya jangan sampai turun. Syukur kalau nikah dosennya diundang.” Sahut beliau tiba-tiba
Olala....
Aku cuman senyum, jenis senyum getir. Ditanya sedikit sama pak Dosen tentang mata kuliah yang aku ambil, tanda tangan, dan langsung kabur.
“Deph” seseorang memanggilku, ternyata si cowok yang tiga kali dikira pacarku, Mr. Pumpkin itu.
Darimana dia akhirnya tau namaku? ternyata dia sempat melirik KRSku.
Begitulah awal perkenalan kami, standarlah setelah itu bisa ditebak, SMSan, ketemuan, jalan, dan “Mau Pacaran?”  katanya saat kami selesai nonton.
Aku tersenyum sendiri mengingatnya. Siapa yang menyangka kami bertemu lagi dengan kondisi dia sudah memiliki anak, dan aku dengan pernikahan setahunku. 
Jangan dikira aku tertarik lagi pada si Mr. Pumkin ini, tentu saja tidak. Dia sedang mengurus pendaftaran s3 nya, dan aku cuma sedang berkumpul dengan teman-temanku. Aku ini setia, btw.
Benar juga kata Mr. Pumpkin, kalau seseorang melakukan perselingkuhan dan kemudian lebih memilih selingkuhannya ketimbang pasangan aslinya, apa bisa dipastikan dia (atau pasangannya) akan berhenti selingkuh??? TIDAK.
Jadi intinya, aku menyetujui pendapat bahwa cinta itu siklus
Tak bisa dihindari kadang memang bisa merasa setengah mati bosan, capek, eneg, males, dan merasa tak ada obrolan lain dengan pasangan. Tapi ayolah, nikmati saja. Itu cuma siklus. Seperti perempuan yang memiliki siklus menstruasi. Berhenti-lagi-berhenti-lagi. Ikuti saja.
Nanti juga baik lagi, ingat-ingat saja kebaikan si dia. Dan SETIAlah pada pilihanmu
Jangan sampai terjebak pada satu siklus dan kemudian kita menyesalinya, merusak hubungan yang sudah baik.
Pernah Selingkuh?? YA, waktu masih remaja labil dulu dulu.
Pernah jadi selingkuhan?? Tentu saja pernah, tetep ya kasusnya saat remaja labil.
Pernah diselingkuhi?? Mmm mungkin...(semoga TIDAK)
Sekian...

Selasa, 28 Mei 2013

Time to Dhuha







Demi waktu matahari sepenggalan naik, dan demi malam apabila telah sunyi. Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pulam) benci kepadamu, dan sesungguhnya akhir itu lebih baik bagimu dari permulaan. Dan kelak tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas. Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan. Adapaun terhadap anak yatim maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang. Dan terhadap orang yang minta-minta maka janganlah kamu menghardiknya. Dan terhadap ni’mat Tuhanmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur). (Terj. QS. Ad- Dhuha)

Senin, 29 April 2013

The Other Pantura


Bismillah...



Saya sempat tinggal agak lama di sebuah daerah kecil di daerah Pantura, katakanlah nama daerah itu  Gembili. Berdiam diri, tidak melakukan apapun yang penting, datang sebagai makhluk asing buat mereka para penduduk. Makhluk asing karena cara bepakaian saya tidak sama seperti mereka, saya tidak bekerja dengan ulet seperti mereka, bahasa yang saya gunakan juga aneh di telinga mereka, dan tentu saja cara saya memandang hidup berbeda dengan perempuan asli sana. Saya dianggap berpendidikan, kaya, pintar, banyak uang sehingga sudah tidak perlu bekerja. Terkadang sayapun dianggap bodoh oleh mereka karena saya tidak juga memahami apa yang mereka katakan berkali-kali karena kesulitan memahami bahasa. Bahasanya sebenarnya masih sama, bahasa Jawa, hanya saja bahasa Jawa mereka itu intonasinya agak ditinggikan di bagian akhir kata, vokal terakhirnya agak sedikit dipanjangkan. Kosakatanyapun banyak yang aneh di telinga saya.

Dan ya Tuhan, sulit sekali menemukan orang yang bisa berbahasa Jawa kromo hinggil di sana. Di Jogja sudah ‘diwajibkan’ apabila bicara dengan orang yang lebih tua menggunakan bahasa Jawa Kromo Hinggil, kalau tidak? Kamu akan dianggap sebagai pemuda nggak tau diri. Saya yang tidak begitu pandai menggunakan bahasa Jawa lebih memilih menggunakan Bahasa Indonesia sebagai komunikasi saya dengan para orang tua kalau dalam situasi tertentu diharuskan berbicara yang agak lama dan panjang, itupun biasanya saya kemudian dianggap sebagai orang Jawa yang tidak njawani. Orang Jogja mengamini filosofi yang di anut oleh seorang Filsuf china kuno (lupa namanya :P) , bahwa “yang membedakan kelompok dan status sosial seseorang adalah bahasanya.” Maka dari itu mempelajari bahasa sangat penting. Apa yang keluar dari mulutmu menandakan darimana dirimu berasal. Di Joga pula, siapapun yang menanyakan sesuatu pakai bahasa kromo hinggil pasti akan di balas pakai bahasa kromo hinggil juga. Saya terbiasa dengan budaya yang seperti itu. Sayangnya di Gembili ini tidak berlaku yang begituan, anak setingkat sekolah dasar tetap menggunakan bahasa Jawa Ngoko (bahasa standar pergaulan) ketika berbicara pada kakek-kakek. Semuanya begitu. Jangan harap kamu menemukan anak yang berbicara halus pada orang tuanya.

Saya tidak sedang membandingkan ‘mana yang baik-dan mana yang tidak baik’ antara dua kebudayaan yang jelas berbeda lho ya, dari letak geografisnya saja sudah berbeda, tentu saja budayapun berbeda pula. Saya dari daerah pegunungan, pusat inti kerajaan (pemerintahan) dengan segala keruwetan budaya dan kekayaan filosofinya, dan Gembili ini ada di pesisir. Pesisir yang sejak dulu terkenal dengan keuletan karakternya, pekerja keras. Pesisir tempat arus lalu lintas perdagangan di Nusantara, Islam masuk berawal dari daerah pesisir, termasuk tempat transitnya perompak lautan pada zaman dahulu.

Jadi wajar saja kalau saya sedikit mengalami shock culture.

Tapi begitulah Pantura, dengan segala dinamikanya. Saya katakan berkali-kali mereka adalah pekerja yang sangat ulet. Kecil-kecil sudah berani merantau, anak lulus Sekolah Menengah sudah ngurban ke Jakarta dan kota-kota industri lainnya. Tidak memandang gender, semua merantau. Bahkan ada kesan kalau seorang laki-laki muda masih ada di desa maka dia bukanlah pemuda yang berani. Sukses saya lihat masalah belakangan, yang penting berani dulu.  

Saya yang sudah dawasa begini saja belum berani merantau sendiri, dan belum pernah melamar pekerjaan. Bagaimana mereka bisa menganggap saya banyak duit? 


Minggu, 10 Maret 2013

"SLAMET"


Bismillah...

Masih ingat ada berapa teman kita yang bernama “Slamet”?? Setidaknya ada empat orang slamet yang saya kenal, dua orang slamet teman saya SD, satu orang di  murid di sekolah, dan satu lagi saudara saya.  Tiga orang Slamet nama belakangnya sama semua “Slamet Riyadi”, Itu yang saya kenal dekat, masih ada empat orang slamet lagi yang saya tau wajah tapi tidak begitu dekat. Tentu saja nama Slamet lebih banyak digunakan oleh orang Jawa, meskipun ada seorang Slamet dari pulau Lombok yang saya kenal tak begitu dekat, dia mengaku kalau bapaknya menamainya Slamet karena ingin anaknya jadi seorang presiden, karena presiden selalu orang Jawa, dipilihlah nama Slamet sebagai nama anaknya, representasi dari cita-cita sang bapak agar anaknya kelak menjadi presiden, meskipun dia bukan dari Jawa.

Slamet berasal dari kata salam, bahasa arab yang artinya selamat. Selamat dari api neraka, selamat dari bujukan setan, selamat dari dunia yang kejam, dari lilitan hutang, dari bayangan pembimbing tesis (ini saya!), intinya selamat dari segala hal. Dalam doa sehari-hari saya selalu menyertakan “selamat dunia dan akherat”, doa yang simpel, namun benar-benar luas sekali maknanya.

Slamet itu bersyukur
Dari kata salam dari bahasa Arab inilah kata slamet muncul. Ketika kata salam sudah dibahasa jawakan artinya menjadi lebih luas lagi saya kira, karena kecenderungan suku jawa yang senang sekali memfilosofikan sesuatu. Memberikan arti yang sangat luas pada hal yang simpel.  Lidah orang jawa yang sulit menirukan logat orang Arab membuat kata Salam-salamah menjadi Slamet, syahadatain menjadi sekaten, Abdul Faqih menjadi Dul Pekik, Assalamualaikum menjadi lamlekum, dan yang sekarang sedang jadi tren ngaco astaghfirullahal ‘adzim menjadi lebih alay astajim.

Ini membuktikan bahwa sebenarnya suku Jawa memiliki posisi tawar tinggi hingga menyaring banyak hal yang masuk ke dalam ruang lingkupnya. Ketika agama dan budaya Hindu-Budha masuk, masyarakat jawa tidak mentah-mentah mengambil kebudayaan dan agama Hindu-Budha, begitu pula dengan Islam. Islam dengan membawa prinsip rahmata li alamin, tidak serta merta ditelan mentah-mentah orang Jawa, ada komunikasi intens antara diantara keduanya, dan komunikasi tersebut berjalan dengan sangat baik hingga saat ini.

Slamet adalah tujuan tertinggi manusia Jawa dalam mencapai hidup yang tentrem, ayem. dan selanjutnya golek slamet merupakan proses yang sangat rumit, penuh aturan, dan terkadang terlalu didramatisir. Bagaimana manusia Jawa mengenal rites of the passages, upacara sepanjang diri kita, atau lebih simpelnya upacara-upacara yang menyertai hidup kita. Dimulai dari upacara paling awal sejak bayi dalam kandungan, sampai upacara sesudah manusia meninggal, dari rogohan hingga ngijing. Inti dari masing-masing upacara rites of the passages adalah golek slamet, agar di babak kehidupan selanjutnya seseorang dapat menjalani dengan baik. Golek slamet hakekatnya adalah harapan agar hidup selalu dilingkupi perasaan ayem, tentrem, beruntung, dan jauh dari kesialan.

Semoga bermanfaat